Minggu, 11 November 2012

Feature (Tugas Jurnalistik 4)

“Nelayan kita mana mampu mengambil ikan di laut dalam tanpa peralatan yang memadai?” kata seorang ahli ekologi manusia dalam sebuah berita. Berita seperti ini rasanya sulit sy terima sebagai kenyataan pahit yang melanda tanah air tercinta. Bagaimana tidak, sampai sekarang peralatan bernelayan dan kualitas tangkapan mereka masih jauh dari cukup sebagai seorang nelayan. Mereka itulah nelayan-nelayan tradisional.

 Pada hakikatnya, Indonesia adalah negara kepulauan. Secara teori, budaya maritim melekat kuat dalam tiap sendi kehidupan. Faktanya, orientasi hidup manusia Indonesia jauh dari kemaritiman. Cita-cita menjadi pelaut atau minimal bekerja di laut tidak pernah terdengar lagi. Rupanya orang Indonesia engga cocok kerja di air. Dalam bekerja, orientasinya bukan lagi membangun dan mencipta. Title & Employee-oriented mungkin, iya.
Semacam merasa malu dengan fakta sejarah yang ada. Melihat dulu Sriwijaya adalah kerajaan yang perkasa dan memiliki armada laut yang sangat kuat di wilayah perairannya…Melihat Majapahit yang bisa menaklukkan Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara…Melihat Suku Bugis dengan Kapal Pinisi-nya…serta Suku Bajo yang hidup di atas rumah perahu-nya…membuat Indonesia kini seperti negara tanpa sejarah—jika tak ingin disebut sebagai negara yang melupakan sejarahnya.
Adalah kenyataan bahwa belanda menjajah kita. Dan kenyataan pula jika mereka—secara langsung maupun tidak—mengubah kehidupan budaya dan sosial kita. Segala aturan yang mereka bawa dan perilaku yang dihadapkan kepada pribumi membentuk satu budaya baru di negeri Hindia pada saat itu.
Banyak sekali unsur yang menyebabkan orientasi kemaritiman kita hilang dari ingatan. Program tanam paksa—mereka dipaksa menanam tanaman yang bukan maunya—dengan sukses menghapus ingatan tentang negeri bahari itu. dan banyak peraturan yang tak memihak rakyat Hindia Belanda… Dengan Batavia sebagai pusat pemerintahan saat itu (yang otomatis membuat sentralisasi di dalam diri Hindia Belanda, alih2 otonomi tiap wilayah) menjadikan Nusantara kehilangan arah dan bersikap inferior terhadap bangsa dan budaya yang datang dari luar. Indonesia limbung mencari jati dirinya.
Inilah, kita berada dalam satu kondisi di mana identitas negara kita sedang dipertanyakan. Negara kita adalah Nusantara. Nusantara yang secara morfologi terdiri dari morfem nusa (pulau) dan antara (lain/seberang) adalah negara kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Miangas. Identitas diri ini terlupa.
Padahal kita memiliki Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara, menurut Prof. Dr. Wan Usman, adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang beragam. Indonesia lupa. Pemerintah lupa. Rakyatnya pun (dibuat) lupa. Akankah negeri ini kembali mengingat dirinya sendiri yang gagah berani, yang bangga atas identitasnya, alih-alih memamerkan ke-luarnegeri-an yang gandung pada akhir-akhir ini?

1 komentar: